Titik Temu - bagian 3
“Oke kak, terima kasih” ucap Ameera pada perempuan yang menjaga meja registrasi pameran seni.
Ameera melangkahkan kaki nya masuk ke dalam pameran seni dan berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lain nya untuk menikmati pameran. Sudah satu bulan lebih Ameera tidak datang ke pameran seni, maka ketika ia melihat informasi ada pameran seni di sekitar Jakarta Selatan, tepatnya di daerah Kemang. Ameera langsung membeli tiket secara online untuk hari minggu pagi ini. Seperti biasa, Ellena tidak ikut, karena diri nya sedang disibukkan penyusunan skripsi. Berbeda dengan Ellena, Ameera yang memang gapyear, membuat diri nya dan ellena memiliki perbedaan semester, sehingga Ameera tidak sesibuk Ellena.
Ameera berdiri pada salah satu lukisan yang ukuran nya cukup besar. Lukisan itu dipenuhi dengan background berwarna hitam, ada bunga-bunga dalam lukisan itu, bunga dalam lukisan itu memenuhi sekujut tubuh wanita yang tergantung, kehadiran bunga yang mengelilingi wanita itu seolah bentuk perlindungan kepada wanita dalam lukisan. Ameera terdiam melihat lukisan di hadapan nya. Hati nya merasa sesak saat melihat lukisan tersebut.
“Kamu yang waktu itu di museum Fatahillah ya?” sapa seseorang. Ameera lantas melihat ke arah sumber suara, tepat nya sebelah kanan nya. Ameera diam memperhatikan laki-laki di samping nya, sambil berusaha mengingat.
“Kak Kafin ya? Yang waktu itu jadi pemandu aku di Museum Fatahillah” ingat Ameera. Ameera tidak mungkin lupa pada laki-laki yang ia temui di Museum Fatahillah dua bulan lalu, walau untuk mengingat wajah nya memang sedikit perlu effort.
Kafin tersenyum dengan anggukan, “Iya. Ngga nyangka bisa ketemu di sini. Kamu sendiri?” tanya Kafin mulai membuka obrolan.
“Iya, aku sendiri kak”.
“Wah kebetulan, aku juga sendiri” Ameera hanya tersenyum membalas ucapan Kafin. Pertemuan nya dengan Kafin di hari ini memang tidak terduga, dan lantas jika kedua nya sama-sama sendiri, Ameera harus merespon apa? Ameera kembali fokus memperhatikan lukisan di hadapan nya, kepala nya bermain, berimajinasi.
“Apa yang kamu rasain waktu liat lukisan ini?” tanya Kafin yang memecahkan isi kepala Ameera yang sejak tadi kembali fokus memperhatikan lukisan di hadapan nya.
“Sesak, sedih, tenang”
“Kamu liat perempuan di lukisan ini?”
“Iya, keliatan jelas. Dunia nya gelap, dia sendirian, dia butuh pertolongan. Dunia nya senyap dan sesak, bahkan bunga yang dilukis pun ga bisa ngasih keceriaan di lukisan ini, bunga ngga bisa nyembunyiin kepiluan hati perempuan di lukisan itu. Sampai akhirnya perempuan itu memutuskan untuk pergi disaat dunia nya gelap dan sunyi, tanpa adanya pertolongan sedikitpun.” Ameera berbicara terlalu banyak, tapi itu yang ingin ia sampaikan, sesuatu yang sejak tadi bermain di kepala nya. Hati nya seolah merasakan perasaan yang sama dengan perempuan dalam lukisan itu. Ameera melihat diri nya dalam lukisan itu, tetapi Ameera masih ada di sini, di dunia.
Kafin tertegun mendengar perempuan di samping nya berbicara banyak. Ia melihat ke arah perempuan di samping nya, dan memberikan senyum nya, “Kamu tau mitos Pulung Gantung?”.
Ameera menggeleng menandakan ketidaktahuan nya.
“Sekitar tahun 2003-2012 ada sekitar 330 kasus bunuh diri, rata-rata tiap tahun nya sebanyak 33 kasus bunuh diri. Ini terjadi di Gunung Kidul. Masyarakat sana percaya pada mitos Pulung Gantung, di mana pulung gantung itu sendiri dianggap sebagai sebuah isyarat langit akan terjadinya bunuh diri dengan cara gantung diri” jelas Kafin. Ameera cukup terkejut mendengar penjelasan Kafin, ia baru tahu informasi yang baru saja Kafin jelaskan.
“Nah, Pulung Gantung ini digambarin kayak bola api besar dengan cahaya kebiru-biruan yang terbang di waktu malam. Kalau ada rumah yang kejatuhan cahaya tersebut, masyarakat percaya kalau salah satu anggota di rumah itu akan melakukan bunuh diri. Masyarakat juga mempercayai, kalau misal terjadi bunuh diri yang di mana orang tersebut bunuh diri dengan menggantungkan diri nya, jenazah nya itu ngga diperbolehkan buat dimandikan, ngga diperbolehkan dibungkus kain kafan, bahkan ngga boleh disalatkan”.
“Sampai segitu nya kak?” Ameera menginterupsi penjelasan Kafin. Dia benar-benar baru mengetahui informasi ini.
“Iya. Masyarakat melakukan hal itu soalnya mereka percaya kalau mereka yang terkena Pulung Gantung itu punya energi negatif, sehingga masyarakat takut energi itu bisa menular ke orang lain.
"Terus asal usul mitos Pulung Gantung itu sendiri berawal dari mana?"
"Aku sih pernah baca, katanya mitos Pulung Gantung itu awal muncul karena ada pelarian orang-orang dari kerajaan Majapahit waktu ngelawan kesultanan Demak sekitar abad ke-15. Dimana, waktu itu Brawijaya V yang jadi Raja Majapahit, dia melarikan diri sama pengikutnya ke daerah Gunung Kidul. Terus, Brawijaya V dipercaya melakukan moksa, yang kalau dikepercayaan Hindu itu diartikan membebaskan diri dari ikatan dunia. Setelah Brawijaya V meninggal, para pengikutnya kan ngga punya kesaktian apapun ya, mau ngga mau para pengikutnya itu frustasi dan akhirnya mereka ngelakuin bunuh diri.
Nah, konon katanya roh pasukan raja Brawijaya V yang bunuh diri itu ditolak sama Tuhan, makanya akhirnya mereka jadi Pulung Gantung. Di mana mereka terus cari korban lain, supaya orang lain bernasib sama"
Ameera menatap takjub setelah Kafin selesai menjelaskan, ia bertepuk tangan kecil, "keren, aku baru tau informasi itu kak".
"Itu dari versi yang aku tau sihh yaa, karena sebenernya ada beberapa versi lain juga".
"Tapi kamu keren loh kak tau mitos ini".
"Kan aku anak sejarah"
"Oh iya yaa"
"Kamu beneran sendiri?" tanya Kafin mengganti topik.
"Iya kak"
"Setelah ini ke mana?"
"Cari makan mungkin?"
"Mau bareng?" ajak Kafin.
Ameera terdiam sebentar. Ajakan Kafin sedikit membuatnya berpikir. Apakah ia harus menyetujuinya atau tidak. Dirinya dan Kafin masih asing, bukankah Kafin saja belum tau nama nya?
***
"Jadi nama kamu Ameera?" tanya Kafin memulai topik.
Keduanya kini berada di salah satu Cafe yang ada di daerah Kemang, tepat nya di Kopi Lima Detik. Lokasi tempat makan yang Kafin pilih tidak terlalu jauh dari tempat pameran seni. Ameera pada akhirnya menyetujui ajakan Kafin untuk pergi bersama Kafin. Selain karena tidak enak menolak ajakan Kafin, Ameera juga memang lapar, kalau dia pergi mencari tempat makan sendiri, itu akan membutuhkan waktu yang lama, terlebih Ameera menaiki transportasi umum.
Selama di perjalanan tadi akhirnya Kafin menanyai nama nya. Lucu memang, Ameera sudah tau nama Kafin sejak di Museum Fatahillah, sedang Kafin tidak tau nama Ameera sama sekali.
"Iya kak" jawab Ameera seadanya.
Kafin membuka handphone nya dan mengklik salah satu aplikasi sejuta umat untuk mendapatkan jawaban dari apa yang biasanya manusia cari. "Bagus nama kamu, artinya bagus banget".
"Ameera adalah putri atau pemimpin perempuan. Dalam Islam nama ini berkaitan dengan nuansa seorang putri dan kerajaan." Kafin menaruh kembali handphone nya setelah membaca apa yang tadi ia cari. Ameera tersenyum mendengar penuturan Kafin yang membacakan makna nama nya.
"Tanpa nama Ameera pun, kamu emang seorang putri sih. Putri untuk kedua orang tua kamu, kehormatan bisa mengenal Ameera" Kafin menundukkan kepala nya memberi hormat layaknya seorang prajurit kepada ratu nya. Ameera tertawa kecil melihat tingkah Kafin, "jangan gitu kak, malu aku".
"Ehh ngapain malu? nama mu itu bagus loh Meer. Orangtua kamu pasti susah banget cari referensi buat namain bayi kecilnya yang baru lahir ke dunia. Mereka sibuk cari nama yang punya makna bagus untuk anak perempuan nya, supaya nama itu bisa jadi do'a"
Ameera terdiam mendengar penuturan Kafin. Kepala nya membayangkan skenario Ibu sama Ayah nya yang begitu senang atas kelahiran nya. Lalu, imajinasi nya bermain pada kenangan diri nya di masih kecil, pergi ke taman bermain bersama kedua orangtua nya. Kemudian, masa remaja nya sampai detik di mana kedua orangtua nya tersenyum bahagia saat diri nya lolos undangan masuk perguruan tinggi. Dan kenangan tiga bulan lalu pun kembali datang. Ameera merasa sesak mengingat nya, memori itu terlalu menyakitkan bagi nya. Bisakah apa yang terjadi tiga bulan lalu dihapus dan tidak pernah terjadi? Namun, seberapa banyak pun pertanyaan itu muncul, Ameera tau, jawabannya tidak akan mungkin terjadi. Air mata nya lolos begitu saja tanpa ia sadari.
Kafin panik melihat perempuan di hadapan nya yang tiba-tiba saja melamun dan menangis, "Meer?" Kafin mengambil tissue di meja, tangan nya memegam beberapa lembar tissue, tetapi masih menunggu Ameera sadar akan kenyataan, ia masih tau sopan santun, tidak mungkin ia menghapus air mata Ameera tanpa persetujuan nya.
"Ameera?" ucap Kafin lagi. Kali ini Ameera terbangun dari lamunan nya. Kafin menatap Ameera dengan tertegun, tatapan perempuan di hadapan nya kini benar-benar kosong. Kafin memberikan tissue yang sejak tadi ia pegang. Tanpa pembicaraan apapun Ameera menghapus air mata nya.
Kafin tidak menanyakan apapun setelah itu. Kedua nya terdiam. Betapa baik nya Tuhan menghapus kecanggungan mereka berdua dengan mendatangkan makanan dan minuman pesanan mereka tadi. keduanya pun kembali mengobrol membahas hal-hal kecil, sambil menikmati makanan.
***

Komentar
Posting Komentar