Titik Temu - bagian 2



"Meer? di mana?" suara seorang perempuan di balik telepon itu terdengar begitu jelas dengan nada sedikit khawatir.

Ameera melihat jam di handphone nya yang menunjukkan pukul delapan malam, pantas Ellena menelpon, pikirnya.

"Ini aku udah di Transjakarta kok El. Dapet tempat duduk lagi" Ameera menjawab seadanya. Transjakarta saat ini tidak terlalu ramai, sehingga dirinya dapat dengan mudah mendapatkan tempat duduk tanpa harus melalui berbagai drama seperti dorong mendorong antar penumpang.

Terdengar helaan nafas dari telpon, Ameera tersenyum membayangkan ekspresi wajah sahabatnya itu. "Meer, jadi pulang ke rumah ku kan? kamu tau kan jalanan rumah kamu sepi. Ini kamu pasti nyampe rumah jam sepuluh malem" terdengar nada khawatir dari suaranya. Ameera bersyukur bahwa ia memiliki Ellena di hidup nya.

"Iyaa, aku jadi ke rumah kok. Ini udah naik Transjakarta arah rumah kamu" jawab Ameera meyakinkan Ellena. Menginap di rumah Ellena bagi Ameera bukanlah hal yang baru. Sejak diri nya duduk di bangku sekolah menengah pertama, dia sudah sering menginap di rumah Ellena. Hanya saja satu bulan terakhir ini Ameera hanya tinggal sendiri, sehingga intensitas diri nya menginap di rumah Ellena menjadi lebih sering.

"Okee, nanti kalau udah sampe uki kamu telpon aku, aku jemput kamu nanti di pgc"

"Iyaa sayangku cintakuu, nanti aku telpon yaaa"

"Janji yaa"

"Iyaa Ellena, ini ada orang di sebelah aku, malu nih telponan" ucap Ameera bisik-bisik, tetapi di balik telpon Ellena justru tertawa kencang, "Ajak kenalan ngga sih Meer" ucap Ellena yang sontak membuat Ameera menautkan alis nya terkejut. Ajak kenalan orang asing? untuk apa? Ellena senang sekali menggoda nya.

"Udah yaa, aku matiin. Daah" tanpa menunggu jawaban Ellena, Ameera segera mematikan telpon nya dan memasukkan handphone nya ke dalam tas.

Dilihat nya seseorang di samping nya, Ameera tersenyum singkat, "Maaf ya kak kalau ke ganggu, karena berisik" ucap Ameera menahan malu. Untuk pertama kali nya, Ameera berbicara dengan orang asing di Transjakarta. Biasanya ia hanya menghabiskan waktu di Transjakarta dengan menyibukkan diri melalui buku dan mendengarkan musik.

Laki-laki itu tersenyum, "Ngga apa-apa kak. Lagipula ga berisik kok, suaranya pelan banget telponan nya" jawab nya memberi ketenangan kapada Ameera. Ameera hanya tersenyum untuk menjawab ucapan laki-laki di samping nya, tidak ada topik yang perlu diobrolkan dengan orang asing.

Ameera menyibukkan diri melihat jalanan, untuk melihat kehidupan di balik kaca Transjakarta. Jakarta masih ramai, masih banyak orang-orang beraktivitas. Pemandangan jalanan mampu mengalihkan perhatian buku di tangan nya yang sejak awal naik Transjakarta sudah ia pegang dan belum juga ia lanjutkan baca.

"Kamu suka filsafat?"

Lamunan nya terhenti ketika diri nya mendengar suara laki-laki di sebelah nya. Ameera menghentikan aktivitas nya, dan beralih menatap laki-laki di samping nya itu, lalu menatap buku di tangan nya, Pasti karena buku ini, ucapnya dalam hati.

Dia pun meladeni pertanyaan laki-laki di sampingnya, "Ngga bisa dibilang suka sih. Aku baru mulai baca" jawab Ameera seadanya. Toh, memang kenyataan nya seperti itu. Titik balik kehidupan membuat nya tertarik dengan filsafat, tepat nya setelah obrolan nya dengan sang dokter dua bulan lalu.

"Kenapa mulai baca buku filsafat?" tanya nya. Ameera sedikit kurang nyaman berbicara dengan orang asing. Ameera memalingkan wajah nya melihat buku yang sejak tadi ia pegang.

Jika ditanya seperti itu, sebenarnya dirinya bingung harus menjawab apa. Apakah seseorang harus memiliki alasan untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukan nya?

Menyadari Ameera melamun dan tidak menjawab pertanyaan nya, laki-laki itu merasa tidak enak hati, "Maaf kalau pertanyaan ku menyinggung. Aku ngga bermaksud menyinggung kamu atau mempertanyakan alasan kamu mulai baca buku filsafat. Aku cuman tertarik aja, karena kebetulan buku itu pernah aku baca." Ucap nya yang kali ini lebih banyak mengeluarkan kosa kata.

"Ngga apa-apa kok. Kakaknya sendiri suka filsafat ya?" tanya Ameera mengalihkan topik dengan bertanya balik.

Laki-laki itu menggunakan kemeja kotak biru yang kancing nya sengaja tidak terpasang, sehingga menampilkan kaus putih yang dikenakan nya. Dengan paduan celana jeans berwarna krem dan sepatu putih, tampak serasi dan membuatnya terlihat rapi. Ia tersenyum mendengar pertanyaan Ameera. Filsafat adalah dunia nya, dan tentu nya ia senang dengan pertanyaan yang diajukan oleh perempuan di samping nya.

"Iya, aku suka filsafat. Kebetulan aku mahasiswa psikologi juga, salah satu mata kuliah ku ada mata kuliah filsafat" ceritanya menjelaskan. Ameera hanya mengangguk kecil, tidak berniat melanjutkan obrolan, walau sebenarnya dalam hati nya ia sedikit tertarik untuk menanyakan banyak hal, ketika tau bahwa laki-laki di samping nya merupakan mahasiswa psikologi. Namun ia urungkan, karena Ameera menyadari bahwa mereka hanya orang asing.

Laki-laki itu sama-sama terdiam, enggan untuk mengajak perempuan di samping nya berbicara lagi, karena ia merasakan perasaan tidak nyaman yang ditunjukkan perempuan di samping nya.

Dan yang tersisa diantara kedua nya hanya sepi. Keduanya kembali melanjutkan aktivitas nya masing-masing sebelum pembicaraan tadi terjadi. Ameera kembali melihat jalanan di balik kaca, sedangkan laki-laki tersebut tenggelam dengan layar handphone nya.


------------------------------------------------------------------------------------------------------


“Gimana orang asing nya? Cakep ga?” tanya Ellena antusias ingin mendengar cerita Ameera di Transjakarta tadi.

Ameera sudah sampai di rumah Ellena sejak tiga jam yang lalu. Ketika Ameera sedang menulis di buku harian yang selalu ia bawa, Ellena membuka topik pembicaraan tentang orang asing yang sempat menjadi obrolan singkat di telpon dengan Ellena tadi.

Ameera menutup buku harian nya dan mengalihkan perhatian nya ke arah Ellena yang sedang menunggu cerita nya, “Ngga ada yang spesial” jawab nya jujur.

Bagi Ameera, pertemuan nya dengan laki-laki di Transjakarta itu bukan suatu hal yang luar biasa. Itu hanyalah pertemuan singkat karena persamaan buku yang dibaca. Tidak akan ada kelanjutan apapun, apalagi bertemu kembali. Ia hanya orang asing bagi nya.

Ellena mengerucutkan bibirnya kecewa, “Masa sih? Ngga ada obrolan apapun?” tanya nya penasaran. Ameera tersenyum kecil melihat ekspresi sahabat nya yang terlihat begitu penasaran dengan orang yang ia temui di Transjakarta.

“Ada” Ellena membulatkan mata nya senang, “Tapi sedikit” tambah Ameera yang mampu memunculkan kekecewaan lagi pada Ellena.

“Yah, ngga seru dong”

“Iya emang, ngga ada hal yang menarik. Kecuali tentang dia yang ternyata mahasiswa psikologi” Ameera beranjak dari duduknya dan berpindah tempat duduk di samping Ellena yang sejak tadi sudah duduk di atas ranjang.

“Oh yaa? Seru dong! Kamu tau namanya ngga?” Ameera menggeleng tanda jawaban.

“Kenapa ngga tanyain namanya? Lumayan loh dia anak psikologi, kamu bisa tanya-tanya dia” ucap Ellena.

Ellena paham betul, bahwa sahabatnya ini sangat tertarik dengan dunia psikologi. Terlebih semenjak kejadian beberapa bulan ini yang membuat Ameera dan dunia psikologi menjadi begitu dekat. Walau sebenarnya sudah sejak dulu, tetapi tahun ini menjadi tahun terberat bagi Ameera. Ellena tau, bahwa sahabatnya ini menyimpan banyak hal. Namun, ia mengerti bahwa Ameera tidak senang terlihat lemah. Sehingga yang bisa Ellena lakukan hanya tetap bersama Ameera, di samping Ameera, dan menjadi seseorang yang akan selalu ada dikala Ameera butuh. Akan ada waktu nya di mana Ameera akan bercerita tanpa harus diminta.

Ameera menghela nafas nya pelan, “Dia orang asing El, masa tiba-tiba nanyain nama nya. Udahlah, aku juga kan ada dokter Mia. Kalau mau tanya-tanya kan bisa ke beliau.”

“Tapi sayang banget. Kapan lagi kamu punya temen anak psikolog Meer”

“Iyaya? Ngga apa-apa, kalau jodoh juga nanti ketemu lagi” ucap Ameera asal, tetapi diaminkan oleh sahabat nya itu.

“Ah iya, tadi gimana? Seru ga ke museum sama pameran buku nya?” tanya Ellena. Ameera tersenyum mendengar pertanyaan Ellena padanya. Ellena selalu seperti ini, sejak di bangku sekolah menengah pertama. Tak pernah seharipun Ellena melupakan untuk menanyakan kabarnya. Bukankah Ameera manusia paling beruntung? Karena memiliki Ellena dalam hidupnya.

“Seruu banget dong. Pas tadi ke museum juga aku dapet tourguide pribadi” cerita Ameera dengan diakhiri tawa kecil. Memori saat di museum muncul seketika, terlebih ketika laki-laki bernama Kafin itu menjadi pemandu nya. Ellena tersenyum senang melihat Ameera tersenyum bahagia, “Ayoo, kenapa itu senyum-senyum” Ellena mencolek lesung pipi Ameera.

Tourguide nya baik”

“Masa sih? Ngga ada yang lain nihh? Apa jatuh cinta yaaa” ucap Ellena asal dengan menunjuk-nunjuk wajah Ameera yang terlihat salah tingkah. Ameera menghantam Ellena dengan guling yang sejak tadi ada di tangan nya, “Ngga ya El. Masa jatuh cinta sihh.”

“Siapa tau gitu seorang Ameera jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang tourguide di museum Fatahillah” Ledek Ellena semakin menjadi.


“Engga yaa, El”

“Boong ah”

“Beneran Ellena”

“Masa?”

“Iyaaa Ellena. Mau tau sesuatu lagi ngga?”

“Apa?”

“Tapi stop ledekin aku”

“Liat kondisi”

“Tuhh kan. Ngga jadi deh”

“Cerita ga Meer, apa?” Ellena udah kelewat penasaran dengan cerita selanjutnya.

“Dia tuh anak Ilmu Sejarah, satu kampus sama kamu”


Sontak Ellena membulatkan matanya terkejut, "Wah jodoh ini mah. Deket itu mah, bisa ketemu lagi"

"Ngga mungkin kayaknya" jawab Ameera yakin. Jika ditanya, apakah diri nya senang bertemu orang seperti Kafin? tentu jawaban nya iya. Namun, jika ditanya, apakah diri nya menyukai Kafin? rasanya itu terlalu dini. Dia baru saja bertemu Kafin tadi, dan Ameera tidak percaya pada cinta pandangan pertama. Bagi nya, itu terlalu mustahil. Bagaimana bisa seseorang bisa jatuh cinta hanya pada pandangan pertama? bukankah itu aneh?

"Liat aja, nanti pasti bakal ketemu lagi"

"Udah ah, aku mau tidur" Ameera mengabaikan ucapan terakhir Ellena. Ameera merebahkan tubuh nya di kasur, tepatnya di samping Ellena yang masih duduk bersandar pada belakang kasur.

Ameera memejamkan mata nya, ia mulai pergi jauh, tenggelam dalam imajinasi yang ia buat. Di ruang kosong, gelap, akan tetapi kejadian-kejadian di hari ini terputar kembali. Seolah dirinya sedang menonton film drama yang mana Ameera lah pemeran dalam cerita itu. Pertemuan nya dengan Kafin dan laki-laki di Transjakarta itu telah menyita perhatian nya dan memaksa kepala nya bekerja dua kali lipat. Namun, Ameera tidak merasa terbebani, karena ia merasa sedikit tenang. Dengan menciptakan Kafin dan laki-laki itu di kepala nya, mampu mengesampingkan apa yang selama ini menjadi beban bagi isi kepalanya. Terhapusnya memori yang selama ini ingin ia hapus, walau sesaat. Memori gelap, pekat, dan biru, yang sudah lebam lama. Seolah hari ini menjadi hari baru bagi Ameera. 

Tuhan sedang menyiapkan sesuatu untuk nya, pikirnya


-------------------------------------------------------

Sumber Foto:

Milik penulis.




Komentar

Postingan Populer