Temu malaikat
Bagi mereka, aku adalah wanita kebanggaan. Sudah memiliki pekerjaan, hidup mandiri, dan ceria. Iya, katanya aku ceria. Padahal… Ahh iya! Aku mahasiswi psikologi tahun ketiga.
Saat ini, aku sedang duduk di depan laptop ku. Suara kipas angin di kamar terdengar begitu jelas, ditambah suara gemuruh hujan dari luar. Pukul 23.30 malam, hanya perlu menunggu 30 menit lagi untuk pergantian hari. Dan seperti biasa, aku selalu menghabiskan diri di depan layar laptop, atau pada tumpukan kertas.
Gadis Bipolar
Dua kata itu terbaca dengan jelas di layar laptop ku, sebuah judul yang hendak aku tulis saat ini. Aku sedikit melamun, memikirkan apa yang harus aku tulis. Aku harus memulai nya darimana?
Dari berisiknya seisi ruangan karena jeritan tangis? penyiksaan diri tiada henti yang dilakukan si pemilik tubuh? tawa yang tidak ada habisnya ketika bersama teman? suasana emosi yang begitu baik dan sangat ceria? atau, pertemuan awal dengan sang dokter?
“Hai, nama mu siapa?”, Selama dua jam aku menunggu pertemuan ku dengan sang dokter. Aku meliburkan diri dari pekerjaan, untuk pergi ke puskesmas dan menemui psikolog.
Berada di hadapan seorang dokter yang menggunakan hijab berwarna cokelat itu, bukan suatu pilihan yang mudah. Sudah hampir dua tahun, aku menahan diri, dan memaksa diri bahwa ‘aku baik-baik saja’, tapi sudah cukup sandiwara itu, aku perlu berobat.
Dokter itu tersenyum manis menunggu jawabanku, aku melihat ke arah dada sebelah kiri nya, tepatnya pada nametag yang terpasang di jas putih nya, tertera Dr. Raina A. M.psi. Aku tersenyum singkat, “Nama saya Kamila. Panggil saja Mila”. Dokter itu tersenyum manis padaku.
Dan kini, aku sudah duduk di hadapan nya dengan dibatasi satu meja. “Mila, bagaimana kabarnya?” aku sedikit terkejut dengan kalimat yang ia ucapkan, dia menanyakan kabarku? sepertinya ini adalah pertanyaan yang sudah lama tidak pernah aku dapatkan, bagaimana yaa kabarku? aku harus jawab dengan apa?
“emm.. baik” jawabku singkat. Mati-matian kepala ku berisik mencari jawaban harus menjawab dengan apa, pada akhirnya hanya kata ‘baik’ yang keluar dari mulutku, ah sial.
“Alhamdulillah, Kesini sendiri? Naik apa?” tanya dokter itu ramah. Bisa tidak kita hentikan basa basi ini? aku enggan merespon. Dan peduli apa dengan jawabanku ini?
“Iya, saya sendiri. Naik ojek online”. Jawabku malas. Aku memperhatikan dokter itu, ia sibuk dengan komputer nya, tapi sesekali pandangan nya tetap melihat ke arah ku dan memberikan beberapa pertanyaan basa-basi.
Sial, apakah dia memperhatikanku yang sedang gugup?
ahh seharusnya keputusan untuk pergi kesini aku urungkan saja sejak tadi, apa gunanya?
“Kita isi data dulu yaa”
Setelah mengucapkan itu, aku diberikan banyak pertanyaan, dan tentunya semua pertanyaan itu harus ku jawab. Dari data pribadi, anak keberapa, berapa bersaudara, orangtua ku masih ada atau tidak, bagaimana kondisi keluargaku, aku sibuk apa sekarang, usia ku berapa, lalu bagaimana perasaanku seminggu terakhir ini, atau sebulan terakhir ini, apa yang aku lakukan, dan lain-lain.
Aku ucapkan saja sejujurnya, bahwa aku terkadang mati rasa. Ada di minggu tertentu, aku akan menjadi seorang wanita yang ceria, seolah tak punya masalah atau beban hidup, energi yang aku keluarkan sangat positif dan aku begitu mencintai diriku sendiri. Namun, ada kalanya di minggu tertentu, aku akan menjadi seorang wanita yang tak punya keinginan untuk hidup, tiba-tiba menangis, menyalahkan diri sendiri, menyakiti diri sendiri, membenci diri dan mengurung diri.
Entah bagaimana ceritanya, dari yang awalnya hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dokter Raina, kini aku menangis. Iya, tanpa izin tiba-tiba air mata ku menangis, dan secara lolos aku bercerita banyak hal pada dokter Raina.
“Saya kesal, kalau tiba-tiba saya ada di kondisi jatuh. Karena pada saat kondisi tersebut, seolah diri saya yang lain sangat membenci diri saya. Saya terlalu banyak berpikir yang berujung menghina diri atas kemampuan yang tidak saya miliki, atau saya menghina diri, karena saya berbeda dengan teman-teman yang lain.”
“Berbeda? berbeda bagaimana?”
“Yaa..beda. Dokter tau, waktu saya lulus sekolah, padahal saya sudah punya rencana untuk masa depan saya. Saya berniat untuk kuliah, tapi pada akhirnya. Tuhan punya rencana lain buat saya, saya tidak diterima di universitas negeri. Lalu saya memutuskan bekerja, dan berakhir menunda kuliah saya.”
“lalu?”
“Yaa, saya terlambat dari teman-teman seusia saya. Saya marah, pada saat itu. Apa saya bodoh banget yaa? Sampai-sampai saya ngga bisa masuk kampus negeri. Pasti mereka menghina saya di belakang saya. Padahal saya sudah bekerja keras sedemikian rupa, saya selalu menyempatkan waktu untuk baca buku, mengerjakan soal, mengikuti tryout dan les. Tapi pada akhirnya, saya tidak mendapatkan apa yang saya mau. Saya ini bodoh kan dok?”
“Tidak, menurut saya kamu tidak bodoh. Buktinya, saat ini kamu mahasiswi psikologi”
“Iya, tapi saya yang dulu itu bodoh. Bahkan saat inipun mungkin saya masih bodoh. Saya kesal. Karena ternyata dewasa tidak seperti ekspetasi saya. Kerja itu capek. Karena saya kuliah swasta, saya juga harus membiayai uang kuliah saya sendiri, dan itu bukan nominal yang kecil. Mungkin, tiga kali lipat dari biaya kuliah teman saya yang di negeri? Saya kesal, mereka bisa dengan mudah mendapatkan bantuan dari pemerintah, tapi saya tidak bisa. Karena saya berstatus sudah bekerja. Saya juga kesal, karena seseorang yang saya kenal sebelumnya dengan enteng berkata kalau dia tidak berniat untuk kuliah, pada akhirnya dia kuliah di jurusan yang saya impikan. Tapi disini saya harus ngalah, saya harus kerja, saya harus biayai pendidikan saya sendiri.
Setiap kondisi saya jatuh, saya terus-terusan menyalahkan diri saya. Saya benci sama diri saya yang sekarang. Saya benci karena saya masih ada dititik yang sangat jauh dengan teman-teman. Lebih kesal nya lagi, saya harus membiayai kuliah sendiri, belum lagi harus membantu membayar cicilan orangtua, dan kebutuhan sehari-hari.
ahh, bicara tentang orangtua, saya kesal kalau mengingat saudara saya yang dengan senang hati merendahkan orangtua saya. Memangnya mereka siapa? Mereka lebih baik kah dari orangtua saya? Ngga jarang, saya tidak bisa menyembunyikan kekesalan saya, kadang saya menunjukkan wajah ketidaksukaan saya secara langsung di depan mereka.
Saya menyebalkan sekali ya Dok? sudah bodoh, judes, sombong. Orang-orang pasti benci pada saya. Mereka hanya terlihat baik di depan saya, pasti di belakang saya mereka membicarakan saya.”
Dokter Raina mengelus pundak lenganku, menyalurkan energi, agar aku dapat tenang. Karena sejak tadi, aku bercerita terlalu menggebu-gebu, nafasku sesak, aku menahan tangis.
“Memangnya, yang bilang kamu bodoh itu siapa? apa mereka bilang langsung ke kamu?”
Aku terdiam, kepala ku kembali berisik, berusaha mencari jawaban yang tepat. Namun nihil, aku tidak mendapatkan jawaban apapun. Aku hanya mampu menggelengkan kepala sebagai jawaban.
“Lalu, siapa yang bilang seperti itu?”
Aku. Iya, semua itu apa yang aku pikirkan.
“Saya".
“Semua praduga itu adalah apa yang kamu pikirkan, betul? Pada dasarnya, mereka tidak mengatakan itu, tapi otak kamu, kepala kamu yang membuat segala praduga tersebut, yang berakhir membuat kamu memvalidasikan isi kepala kamu. Dan kamu lupa pada realita yang ada, benar?”
Aku mengangguk.
“Orang tua bagaimana? mereka tau perasaan yang kamu alami?”
“Tidak. Saya tidak senang membagikan apa yang saya pikirkan pada oranglain. Cukup saya saja yang tau perasaan saya bagaimana, manusia lain ngga perlu tau.”
“Kalau manusia lain ngga perlu tau, terus kalau kamu marah, sedih, kesal, kamu bagaimana?”
“Yaa, saya luapkan ke diri saya, Dok. Misal, kalau lagi marah, biasanya saya melampiaskan nya dengan melempar barang di sekitar saya, atau menjabak rambut saya, memukul kepala saya, mencakar lengan saya, apapun deh pokoknya, yang penting ada yang bisa saya lampiaskan. Dan semua itu saya lakukan ketika saya sendiri.”
“Orang lain tidak tau?”
Aku menggeleng.
“Ahh, tapi pernah sekali mamah tau. Udah jelas, mamah langsung ngomel waktu itu, karena saya memukul kepala saya dengan keras, tapi saya langsung pergi, soalnya saya ga mau denger omelan mamah yang justru semakin buat saya stress.
Oh iya, saya juga ngga tau kenapa diri saya seperti ini. Kadang, saya tiba-tiba marah dan sedih. Saya kesal, kalau emosi tersebut dateng, ketika saya dalam kondisi baik-baik saja. Karena hal itu mengganggu aktivitas saya".
"Memangnya, pada saat kapan kamu merasa marah dan sedih?"
Aku terdiam sebentar, berusaha mengingat kejadian-kejadian lalu.
"Ehmm, hanya dengan melihat postingan seseorang? atau tulisan, dan kejadian."
"Kejadian atau tulisan seperti apa yang memunculkan emosi marah dan sedih pada Mila?"
Aku berusaha mengingat-ingat lagi. Jujur, rasanya sulit untuk menjawab, karena kepala ku terlalu penuh, dan aku bingung harus menjawab apa.
"Apa yaa? Waktu saya melihat postingan teman saya yang hidup nya berjalan sesuai rencana nya, kadang secara tidak sadar, perasaan sedih itu muncul. Karena, saya merasa diri saya tidak berguna. Kenapa yaa hidup saya seperti ini? Kenapa orang lain tidak seperti saya? Kenapa hidup saya berat banget?
Ahh, tapi saya memang bodoh dan tidak berguna. Saya tidak sehebat teman-teman saya. Finansial saya juga tidak sebaik mereka. Saya juga tidak memiliki kemampuan yang penting dalam kehidupan sosial. Saya tidak sehebat mereka, saya banyak kurang nya. Saya bukan seorang anak yang bisa dibanggakan, seperti mereka. Saya sedih menyadari bahwa diri saya bukan siapa-siapa, saya banyak kurang nya. Dan saya marah atas kondisi saya yang seperti itu. Saya tidak bisa menyalahkan siapapun, karena ini hidup saya."
"Apa yang membuatmu merasa tidak berguna?"
"Saya tidak seperti mereka, kehidupan saya, finansial saya dan kemampuan saya. Saya tidak berguna dan tidak sempurna."
Dokter Raina menatapku lekat, berusaha meluruskan pandangan agar pandangan nya dan pandangan ku bertemu.
"Mila, kamu tau kan, bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna?"
Aku mengangguk pelan. Aku paham betul dengan maksud Dokter Raina.
"Begitupun dengan kamu. Tidak ada manusia yang sempurna. Dan kamu bukan tidak berguna, kalau kamu memang merasa seperti itu, karena perbedaan finansial, kehidupan dan kemampuanmu dengan orang lain, maka yang perlu kamu ketahui, bahwa yaa, memang kehidupan seperti ini. Kita hidup di dunia yang memiliki sistem, sistem nya sudah terbuat sangat lama, bahkan dari zaman saya pun sudah ada. Dan sistem yang ada, membuat kita yang berada di bawah, harus memberikan pengorbanan yang lebih besar untuk sampai di atas.
Mungkin kamu merasa tidak adil atas semua itu, tapi itu bukan suatu perasaan yang buruk. Kamu menyadari ketidakadilan yang ada. Lalu, apakah kamu hanya akan terus meratapi ketidakadilan itu?
Atau mungkin kepalamu sedang berbisik sekarang, bahwa ucapan saya sia-sia. Karena bagaimanapun, mau seberapa besar usaha dan proses yang sudah kamu lalui, pada akhirnya kamu akan tetap berada di bawah, karena sistem yang ada itu. Dan ya, saya tidak akan menolak pernyataan isi kepala mu. Karena sistem ini sulit untuk dirubuhkan. Tapi, yang harus kamu tau. Kamu itu berguna, kamu hebat. Lihat kondisi kamu saat ini, kamu bisa bertahan sampai saat ini saja, sudah menjadi suatu pencapaian untuk dirimu. Belum lagi, kamu membiayai kuliah mu sendiri, membantu keluarga dan membiayai kehidupan kamu. Kamu itu hebat, Mila. Saya pastikan, bahwa orang tua kamu bangga sama kamu.
Kalaupun memang proses itu tidak dapat membuat kamu berada di atas, melewati manusia lain nya. Tapi, dari proses yang ada, hal itu sudah membuat kamu berada di atas, dari versi kamu sebelum nya. Kamu menjadi tumbuh dengan pribadi yang lebih baik dari diri kamu sebelum nya. Lihat diri kamu sekarang. Bukankah kamu menjadi Mila yang lebih kuat dan hebat, daripada Mila yang dulu?"
Aku menangis saat itu juga, ketika mendengar tiap kata yang diucapkan Dokter Raina.
Katanya, aku hebat.
"Emosi-emosi yang muncul pada diri kamu, itu adalah hal yang wajar. Sekarang, mulai terima setiap emosi yang ada. Kamu berikan ruang di diri kamu, untuk nampung tiap-tiap emosi yang ada. Terima setiap emosi yang ada, entah marah, kesal, sakit hati, sedih. Walaupun emosi-emosi tersebut emosi negatif, tetap kamu harus menerima emosi yang muncul dari diri kamu, karena bagaimanapun itu bagian dari diri kamu. Jangan kamu buang dan diabaikan. Kalau kamu terus mengabaikan setiap emosi yang ada, nanti lama-lama emosi itu akan menumpuk dan meledak.
Kamu hanya perlu memvalidasi setiap perasaan diri kamu, lalu selanjutnya kamu bantu diri kamu untuk mencari solusi atas perasaan yang muncul tersebut. Dan harus kamu ketahui Mila, tidak semua pertanyaan itu harus ada jawaban nya. Tidak semua pertanyaan, 'kenapa' yang ada di kepala kamu, harus selalu ada jawaban pasti. Kamu cukup jalani kehidupan kamu saat ini. Sekarang bagaimana, apa kamu masih suka menyakiti diri kamu?"
Aku menggeleng pelan, "Sudah satu minggu ini saya tidak menyakiti diri saya, karena saya capek."
"Boleh saya kasih saran?"
Aku mengangguk tanda jawaban.
"Ketika perasaan menyakiti diri kamu itu muncul, kamu bisa melakukan peralihan dengan mengganti objek nya. Coba, ketika kamu ingin menyakiti diri sendiri, kamu bisa ganti dengan meremas kertas, mencoret-coret di kertas kosong, atau memukul bantal dan boneka. Bisa kamu coba melakukan hal itu? dibandingkan kamu harus menyakiti diri kamu"
Aku mengangguk pelan. Tidak yakin, tapi aku akan mencoba nya.
"Kamu itu cantik, liat, Tuhan sudah menciptakan kamu sebaik mungkin. Jangan disakiti yaa diri kamu".
Pertemuan-pertemuan itu terus berlanjut dengan Dokter Raina, tidak jarang aku konsultasi dengan nya melalui pesan di platform sosial media. Dokter Raina selalu memberikan hal menarik setiap aku bertemu dengan nya, misal mengajak ku untuk mulai melakukan journaling, menggambar, dan melukis.
Aku bukan manusia yang sempurna, karena sejatinya setiap manusia pasti memiliki kekurangan. Walau kadang, aku masih selalu menuntut diriku untuk sempurna, pelan-pelan aku berusaha untuk mengajak diriku menyadari batas-batas yang bisa aku lakukan dan tidak bisa aku lakukan.
Aku menutup layar laptopku, aku sudahi menulis. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku beranjak dari tempat duduk ku, dan berjalan menuju dapur.
Ahh, aku lupa minum obat.
—————————————————
fiksi.

semangat hehe! ^^
BalasHapusBAGUSS CERITANYAA
BalasHapus