Titik Temu - bagian 1
“kak, lagi sibuk ga? aku boleh minta waktu nya sebentar untuk fotoin aku?”
Seorang gadis dengan tinggi badan yang tidak sampai 155 cm itu bertanya pada gadis lain yang sedang bercengkrama dengan kelompok nya.
“Iya kak? ngga kok kak. Boleh kak, sini ini aku fotoin” Gadis itu menerima permintaan gadis di depan nya.
Rambut nya terurai panjang sepunggung, dengan balutan dress berwarna cokelat polos yang panjang nya selutut, ditambah sepatu boots berwarna cokelat tua, gadis itu berdiri di sekitaran lapangan dengan latar belakang bangunan tua, tanpa berfose aneh-aneh, ia hanya berpose dengan tersenyum manis ke arah kamera, melihat ke arah lain dan memberikan tanda peace dengan jari telunjuk dan jari tengah nya. Hanya tiga pose ia berfoto, lalu mengucapkan terima kasih pada gadis yang telah menunjukkan bakat mempotret nya.
Namanya Ameera Khanza Ardhitya, seorang gadis yang sudah berkepala dua, dan saat ini menempuh pendidikan jurusan Sosiologi di salah satu Universitas di Tangerang.
Sejak jam 9 pagi, Ameera sudah berada di Kota Tua, sebuah lokasi yang menyimpan banyak sejarah di Jakarta, letak nya berada di Jakarta Barat. Seperti biasa, setiap hari minggu, setidak nya setiap satu bulan sekali, Ameera akan pergi mengunjungi museum sendirian, dan tujuan Ameera kali ini ialah pergi untuk mengunjungi Museum Fatahillah, suatu bangunan yang tadi menjadi latar belakang dirinya berfoto.
Sudah lama Ameera ingin pergi ke Museum Fatahillah, karena museum ini adalah salah satu museum sejarah di Jakarta dan memiliki bangunan dengan gaya arsitektur klasik renaissance. Museum Fatahillah menjadi bangunan yang paling ikonik di kawasan Kota Tua.
Singkat sejarah yang Ameera ketahui, bahwa Museum Fatahillah ini dahulu nya adalah Balai Kota Batavia, dalam bahasa Belanda dinamai Stadhuis van Batavia. Bangunan ini dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoom. Bangunan nya sangat mencerminkan bangunan pada masa Hindia Belanda, belum lagi arsitektur bangunan ini bergaya Neoklasik.
Ameera didampingi pemandu museum seorang laki-laki yang usia nya lebih tua darinya, namanya Kafin. Dia merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah di salah satu Universitas ternama di Indonesia, dan saat ini dia sedang melakukan magang. Katanya, dia sangat suka sejarah. Sehingga dia mengambil jurusan Ilmu Sejarah dan magang di Museum Fatahillah. Ameera mendapatkan informasi ini dari Kafin sendiri, karena tidak hanya menceritakan tentang Museum Fatahillah, Kafin sesekali berbagi cerita tentang nya, dan menanyakan perihal dirinya, seperti; Kamu jurusan apa? Kuliah dimana? Datang sendiri?. Hanya pertanyaan-pertanyaan singkat untuk mencairkan suasana.
Kafin cukup detail memberikan penjelasan tentang Museum Fatahillah. Informasi dari Kafin, Balai Kota pertama di Batavia itu dibangun pada tahun 1620an di tepi timur Kali Besar. Akan tetapi bangunan nya hanya bertahan selama enam tahun. Sebagai gantinya, maka dibangun kembali sekitar tahun 1626/1627 atas perintah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, biasanya kita mengenal nya dengan panggilan JP. Coen. Awalnya bangunan ini hanya bertingkat satu, lalu dibangun kembali menjadi bertingkat dua. Lalu, pada tahun 1707 atas perintah Gubernur Jenderal Joan van Hoom, bangunan ini dibongkar dan dibangun ulang dengan pondasi yang sama. Dan peresmian Balai Kota dilakukan oleh Gubernur Jenderal Abraham can Riebeeck pada tanggal 10 Juli 1710.
Pada saat di lantai satu, Ameera diarahkan menuju ruang tahanan pada masa VOC. Di dalam ruangan tersebut, hampir tidak ada ventilasi dan sangat minim cahaya penerangan. Sehingga ada banyak tahanan yang meninggal sebelum diadili di Dewan Pengadilan.
“Parah banget yaa ruang tahanan nya” gumam Ameera ketika berada di dalam ruang tahanan, dan melihat alat semacam sekrup yang digunakan untuk menyakiti jari-jari terdakwa.
“Kamu ngerasa sesek ga?” seolah mendengar gumaman Ameera, Kafin menatap ke arah Ameera dan bertanya kondisi nya.
“Sedikit, lumayan pengap disini. Dan kalau boleh tau, ini serius tahanan dimasukin ke ruangan ini sampe melebihi kapasitas?” Ameera kembali bertanya untuk mendapatkan penegasan ulang dari apa yang sudah Kafin jelaskan.
Kafin mengangguk sebentar, “Iya, para tahanan di masukin ke ruangan ini sampai puluhan orang dan melebihi kapasitas." Ameera sesak mendengarnya.
“Kamu liat bola-bola besi itu, dahulu para tahanan itu diwajibkan menjalankan kerja paksa di luar penjara, dengan kondisi kaki yang diikat pakai bola-bola besi” Ameera melihat ke arah bola-bola besi yang ditunjuk Kafin. Ameera dapat membayangkan betapa tersiksa nya para tahanan kala itu.
Setelah melihat sebentar ruang tahanan, kedua nya pun memutuskan keluar ruangan, dan berjalan menuju lantai atas.
“Mereka yang meninggal sebelum ke Dewan Pengadilan biasanya karena apa?”
“Sebagian besar dari mereka meninggal karena menderita kolera, tifus dan kekurangan oksigen. Dan penjara ini ditutup tahun 1846, dan dipindakan ke sebelah timur Molenvliet Osst.”
“Tahanan yang terkenal pernah ada yang dipenjara ga kak?” tanya Ameera antusias.
“Ada beberapa tahanan yang pernah menempati penjara balai kota, diantara nya ada mantan Gubernur Jenderal Belanda di Sri Lanka, namanya Lanka Petrus Vuyst. Ada juga Untung Suropati dan Pangeran Diponegoro” jelas Kafin yang membuat Ameera memekik terkejut ketika dirinya mendengar nama Pangeran Diponegoro disebut.
“Nah di lantai ini ada rekontruksi kamar Pangeran Diponegoro. Ada lukisan-lukisan yang berhubungan dengan beliau juga” Tambah Kafin ketika melihat Ameera masih tidak memberikan respon atas penjelasan nya.
Kedua nya kini berada di lantai dua. Ameera cukup berhenti sejenak, untuk menerima informasi yang Kafin jelaskan, belum lagi diri nya masih terkejut melihat kondisi ruangan yang pernah ditempati Pangeran Diponegoro. Dalam kamar tersebut terdapat dipan kayu beralaskan daun pandan dengan kelambu, di samping nya terdapat kursi dan meja dengan dubang, tempat meludah sirih pinang di atas nya. Pencahayaan di ruangan ini cukup remang, sehingga memberikan hawa tenang dan sedikit sepi bagi Ameera. Seolah diri nya benar-benar berada pada waktu yang sama ketika Pangeran Diponegoro berada, kepala nya asik membayangkan kondisi pada saat itu. Ahh, bukankah zaman dulu justru lebih gelap dan sesak? ditambah lagi yang menempati kamar ini bukan hanya Pangeran Diponegoro saja.
"Jadi, Pangeran Diponegoro pernah ditahan disini ya kak?" tanya Ameera.
"Iya, tepat nya 8 April 1830, hampir satu bulan beliau ditahan disini. Kamar ini awalnya hanya diperuntukkan untuk kamar kepala penjara di Stadhuis, akan tetapi akan dikosongkan jika ada tahanan politik yang memiliki status tinggi, seperti Pangeran Diponegoro." Ameera mengangguk paham atas penjelasan Kafin.
"Ini replika lukisan Pangeran Diponegoro waktu ditangkap sama Jenderal Hendrik Markus de Kock"
"Karya nya Raden Saleh kan?" Potong Ameera cepat, ketika ia menyadari sebuah lukisan karya Raden Saleh yang cukup terkenal itu terpampang di depan nya. Ameera sangat tau lukisan tersebut, belum lagi dua tahun lalu terdapat film yang cukup ramai menjadi perbincangan, karena dalam film tersebut terdapat unsur lukisan karya Raden Saleh.
Kafin mengangguk dan tersenyum ke arah Ameera, "Iya, betul. Lukisan yang asli nya itu karya nya Raden Saleh yang dibuat tahun 1857. Lalu ini sketsa lukisan Pangeran Diponegoro yang dilukis oleh Adrianus Johannes Bik, lukisan asli nya disimpan di Rijksprenstenkabinet di Rijkmuseum yang ada di Belanda" Ameera hanya mampu mengangguk dan memasang wajah kagum, tak kala diri nya mendengar penjelasan Kafin dan sibuk melihat lukisan secara detail. Replika nya saja sudah sebagus ini, bagaimana dengan yang asli nya?
Ameera cukup puas atas perjalanan nya hari ini di Museum Fatahillah, setelah tadi belajar banyak hal dan mendapat banyak informasi dari Kafin, lalu berfoto di depan bangunan Museum Fatahillah. Ameera melanjutkan untuk pergi ke tempat khusus orang-orang berjualan. Perut nya sudah berbunyi sejak tadi, menandakan diri nya harus segera makan. Tak kala berada diantara banyak nya gerobak yang menawarkan banyak makanan, Ameera akhirnya memutuskan makan siang dengan menu favorite nya, bakso dan es teh manis.
Ameera menyalakan handphone di tangan kanan nya, dan layar handphone tersebut menunjukkan pukul dua siang. Ameera sudah selesai makan sejak tadi dan Ameera masih memiliki banyak waktu untuk hari ini, sebelum dirinya harus pergi ke Perpustakaan Nasional yang berada di Jakarta Pusat. Jam empat sore nanti dirinya akan menghadiri acara booktalk, yang dimana pertemuan tersebut akan membahas terkait salah satu novel favorite nya.
Ameera segera melangkahkan kaki nya menuju halte Transjakarta untuk melanjutkan perjalanan di hari minggu ini menuju kota Jakarta bagian pusat, letak Perpustakaan Nasional itu berada tepat di depan Monumen Nasional. Dari Kota Tua, Ameera hanya perlu menaiki Transjakarta nomor 1A tujuan Balai Kota.
-----------------------------------------------------
Sumber Informasi:
Ariani (no date) Perubahan fungsi pada museum Fatahillah ditinjau dari Teori Poskolonial. Available at: https://media.neliti.com/media/publications/167144-ID-perubahan-fungsi-pada-museum-fatahillah.pdf (Accessed: 23 April 2024).
Maullana, I. (2020) Menengok Kamar pangeran diponegoro di museum Fatahillah Halaman all, KOMPAS.com.Available at: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/17/19534021/menengok-kamar-pangeran-diponegoro-di-museum-fatahillah?page=all#google_vignette (Accessed: 23 April 2024).
Museum fatahillah (2024) Wikipedia. Available at: https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Fatahillah (Accessed: 23 April 2024).
Sumber Foto:
Milik penulis.


Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus